Senin, 07 November 2011

Kidung Al-Fatihah

(Ki Jogoboyo) 

Kanthi nyebat Asma Gusti Allah 
Kang Pemurah Welas Asih 
Sdaya puji mung katur Paduka 
Pangwasane jagad raya 

Maha Asih ugi Maha Tresna 
Rajane dinten agama 
Mring Paduka kawula manembah 
Ugi nyuwun pitulungan 

Tedahna margi kang leres 
Margine tyang kaparingan nikmat 
sanes margine tyang kang kamurkan 
sanes margine tyang sesat

Aamiin yaa robbal 'aalamiin

Months 'Sura'

What is it months 'Sura'? What's going on in the month of 'Sura'?. "Penanggalan Jawa" which is also called the Javanese calendar can not be separated with 'petungan Jawa'. Javanese calendar which has been altered from the solar circulation system (syamsyiah) into the circulatory system of the month (qomariah) by Sultan Agung at the time was intended to adjust to the Islamic calendar. Replacement of Javanese calendar begins in a Sura in the year 1555 is Alif at that time coincided with a Muharam 1042 or coincide with the Gregorian calendar date of July 8, 1633. In the Javanese calendar, do not know in January, February and so on, because the names of the month in Javanese calendar has also been changed. In the Javanese calendar month beginning the sequence name from the month of Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumada, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkaidah and ends with the name of the month Besar. For the majority of Javanese society, the months are still used as a basis for deciding an action. Perform or not perform the act (or activity) is strongly influenced by the months of the calculation system of Java. Most of the Java community is still using that belief. He will do things and what will be done in the month, it still remains their beliefs. Sura 1 is the start date of commencement of Java that is often commemorated by the Java community as the new year. Of 12 months in the Javanese calendar, the month of Sura is considered sacred month. The Javanese have a strong conviction about the timing of this Sura month, because, the month of Sura is a dimension that is less time to do everything good about the job. Now, therefore considered sacred, then most of the Java community (who believe) will not dare to make a home in the month of Sura, also did not dare to marry his son in the month of Sura, or even just moving to occupy a new home in the month of Sura also not done. By the Java community, the month of Sura often used to 'conduct concerned' or some kind of ritual, ie doing more things that can enhance his personality, especially on the evening of 1 Sura. Rituals are done for example with a 'penance' such as not sleeping through the night, or there are those who perform penance to purify themselves with water Mendi given that water is drawn interest from seven springs or wells. There are still many who do penance by walking in the evening of 1 Sura. There also are doing 'tapa mbisu' is imprisoned on the condition does not say anything and with anyone. Then there is also a ritual with a soak in the water flow of the meeting of two rivers. In addition, by the Java community in Sura is considered the perfect time to cleanse or purify their own heritage. 1 Sura this tradition, until now still in progress. The Java community is still looking at a balance between nature microcosm with the macrocosm of nature. The values ​​of the turn of the new year as one of the Java reference in facing the challenges of life. Appreciation of the spiritual life can not be separated with the new year 1 Sura Java or night. In this Sura society to abstain from partying, but it is eager to ritual activities. That's the month of Sura for the Java community ... ..

Melik nGgendhong Lali

"Melik ngGendhong Lali .....!!!". What to mean ....?? What was the meaning and intention ...?? (The word many people) three pieces of pure word of the Java language has yet another meaning which is now (intentionally or unintentionally) was ignored by many people. "Melik" (= noun) can mean as the "treasure", which in another sense (= adjective) can also be described as a desire soul / heart (such intentions) against something (either objects or other). So the word "melik" can be interpreted as a desire to have something. In Javanese culture, many say that the word "melik" connotes a negative, so that its nature is a bad trait. "NgGendhong" means yes (to) carrying, lifting with your back. Then the word 'Lali' in Indonesian language means forgotten. Well, it is a "paribasan" or Javanese proverb that when translated means that within the human desire for or against something to be accompanied or "carrying" the nature of forgetting. If people already have the intention to have something, he will be more influenced by the intention was that he forgot the things that should not be done to achieve that desire. This is what we must guard against ourselves. My friend told me about his neighbor who deal with the authorities for removing and selling jewelry from a small child. My other friend also tells about his friend who went to jail over corruption charges. While my neighbor friend who occupy elected office because the crowd was forced back and forth to the judiciary being caught using the stuff that is not right. Lha ..., that's "melik nggendhong lali". these people want something but forgot that it was not right. Indeed when he had no intention, he was possessed by the nature of forgetting. Forget that he will do the expropriation of small children, forgetting that he was performing embezzlement of money, forgetting that he was carrying the mandate of the people sitting. Because he forgot, he did break the law. We do not have to count how many people in our country, Indonesia is already 'melik nggendhong lali', but, let us further enhanced personal management, more optimized. Do not forget that in every person that animate nature are all actions that may affect the poor, live how we organize our lives. Who let corruption corruption, the stealing let steal, the judge let hear, and ......( if any) are declared not guilty of corruption then it is free to swing ... he's lucky.

Rabu, 02 November 2011

Tuntunan Pranatacara untuk Pemula

(disertai contoh naskah pranatacara)

Pengertian :
Pratanacara yang sering disebut dengan master of ceremony, pembawa acara, pengacara, pambiwara, pranata adicara, pranata titi laksana, panata adicara, paniti laksana atau biasa juga disebut pranata laksitaning adicara, adalah seseorang yang menata acara sebagai pedoman bagi jalannya sebuah acara. Pranatacara memegang peran yang sangat penting atas berlangsungnya sebuah acara. Ia menjadi kunci terhadap berlangsungnya acara.
Tugas pokok dari pranatacara adalah menghantarkan, memandu dan menjalankan suatu acara atau upacara yang telah disusun atau dirancang sebelumnya. Disinilah peran penting pranatacara. Siapapun yang mempunyai atau menyelenggarakan suatu acara, tidak dapat berjalan sendiri dalam menyelenggarakan acara tersebut. Sebaliknya, lancar tidaknya, meriah dan tidaknya sebuah acara (sebagian besar) bertumpu pada pranatacara.

Sebenarnya pekerjaan pranatacara bukanlah sesuatu hal yang sulit untuk dikerjakan, tetapi karena untuk dapat menjadi pranatacara ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, maka orang mengatakan bahwa menjadi pranatacara adalah hal yang sangat sulit. Apalagi di era sekarang, perang pranatacara sudah berkembang, bukan saja sebagai pengatur acara, tetapi berfungsi sebagai pengatur terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hampir keseluruhan kegiatan. Disini pranatacara juga menjadi media ‘pengumuman’, menjadi panyandra (dalam upacara pernikahan adat Jawa), serta menjadi pengatur  segala yang berkaitan dengan acara, misalnya mengatur kapan hidangan harus disuguhkan, kapan hiburan disajikan, bahkan ia harus wira-wiri berkoordinasi dengan bagian konsumsi dan sebagainya.

Seberapa sulit menjadi Pranatacara?
Sebenarnya menjadi pranatacara adalah sesuatu yang tidak sulit, sangat mudah, sebab semua orang atau siapapun orangnya mulai dari anak-anak sampai orang dewasa yang tidak menderita tuna wicara atau orang yang tidak memiliki ‘masalah’ dalam berbicara dapat menjadi pranatacara. Tetapi banyak orang yang mengatakan sulit bahkan dianggap sangat sulit dan takut menjadi pranatacara karena tuntutan bahasa. Itu benar, tetapi juga tidak!! Orang mengatakan sulit karena ia berpandangan bahwa menjadi pranatacara harus menguasai bahasa Jawa “tingkat tinggi”. Tetapi sebenarnya pemahaman dan pengetahuan berbahasa Jawa tersebut tetap dapat ‘disiasati’, sebab dalam bahasa Jawa dikenal istilah ‘dasa nama’. Dalam bahasa Jawa (seperti halnya bahasa Indonesia dan bahasa daerah lainnya), terdapat kata-kata atau kalimat yang berbeda tetapi memiliki makna atau arti yang sama. Mulai dari kalimat yang dikatakan ‘tingkat tinggi’ sampai dengan yang paling sederhana atau sangat umum digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Jadi yang terpenting, kita jangan memiliki pandangan dan anggapan bahwa menjadi pranatacara harus menggunakan bahasa Jawa ‘tingkat tinggi’ atau ‘dakik-dakik’. Bahkan dalam menggunakan istilah, seorang pranatacara harus ‘empan papan’. Akan sangat tidak pas apabila dalam acara yang hanya dihadiri oleh kalangan muda, pranatacara dalam mengucapkan kalimat penghormatan tamu menyebut : “para pangemban pangembating praja satriyaning negari… dan seterusnya”. Tetapi sebaliknya ‘dapat dianggap sah’ dalam pertemuan atau acara yang dihadiri oleh para pejabat, kalangan sepuh, remaja, ibu-ibu, anak-anak  pranatacara dalam mengucapkan kalimat penghormatan tamu menyebut : “para rawuh ingkang kinurmatan”. Nah, sulitkah menjadi pranatacara??

Bagaimana pranatacara melaksanakan tugasnya?
Meskipun dikatakan bahwa syarat utama menjadi pranatacara adalah cukup bisa berbicara, tetapi ada beberapa hal khusus yang sebaiknya ada atau diterapkan dalam diri seorang pranatacara. Hal ini disyaratkan demi kelancaran tugas dari pranatacara itu sendiri, karena banyak orang yang
1.      Kesesuaian antara istilah bahasa yang digunakan (berbahasa) dengan bentuk acara yang dilaksanakan;
Kesesuaian dalam berbahasa menjadi hal yang sangat penting bagi pranatacara. Seorang pranatacara hendaknya memilih kata-kata dan menggunakan istilah yang mudah dipahami oleh audience. Dalam hal ini bahasa yang baik adalah bahasa yang dipilih dengan cermat dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi acara. Diupayakan agar pranatacara dapat menyelaraskan antara bahasa yang dipilih dengan situasi dan kondisi acara, kedudukan tamu yang hadir, dan kepentingan acara.
2.      Memiliki ‘patokan’ dalam mengatur dan menata jalannya acara;
Sebelum menjalankan tugasnya sebagai pranatacara, seorang pranatacara harus membuat patokan dalam menjalankan acara, walaupun dalam prakteknya bias berubah menurut kebutuhan. Namun garis besar penataan acara sebaiknya ditentukan. Dalam hal ini sekurang-kurangnya pranatacara harus menggunakan patokan umum, yaitu :
a.       mengucapkan salam dan rangkaian kata-kata pembuka;
b.      menyebut penghormatan tamu sesuai kedudukan dan situasi;
c.       mangucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
d.      menyampaiakan / membacakan susunan acara
e.       memandu dan menata jalannya acara
f.       menutup acara.
3.      Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan acara;
Hal ini juga harus dilaksanakan oleh pranatacara, dimana karena peran, kedudukan dan tugasnya seorang pengacara harus melakukan koordinasi dengan pihaj-pihak yang terkait dengan acara. Misalnya pranatacara dalam kegiatan pengajian, ia harus berkoordinasi dengan orang yang diserahi mencari pembicara, orang yang diserahi mengurusi konsumsi, orang yang bertugas menjadi suara panitia, dan sebagainya. Sebaiknya pranatacara juga harus mengetahui nama-nama masing-masing petugas yang akan mengisi acara untuk disebut oleh pranatacara.
4.      Bersikap agar mampu bertindak bijaksana terhadap jalannya acara;
Dalam menjalankan acara, seorang pranatacara dituntut mampu mengambil kebijakan dan inisiatif terhadap jalannya acara. Contoh kecil, misalnya dalam sebuah acara pengajian, telah direncanakan adanya sambutan dari Camat. Namun sampai dengan sampainya waktu acara Sambutan, Camat belum juga hadir. Maka pranatacara harus segera mengambil kebijaksanaan dengan cara merubah bahasa dalam sambutan dengan bahasa : (misalnya) “….. pangandikan saking Bapak Camat Kecamatan X utawi ingkang kepareng amakili…”. Atau bisa juga mengambil tindakan lain dengan ‘ngaturi’ pejabat di bawahnya yang hadir untuk memberi sambutan. Atau dapat pula meniadakan acara sambutan.
5.      Bersikap agar mampu menarik perhatian tamu yang hadir atau siapa saja yang berada dalam lingkup acara.
Seorang pranatacara dituntut mampu berperan dan berpenampilan serta melakukan hal-hal yang dapat menarik perhatian hadirin. Dalam sesorah (pidato), seseorang sangat dianjurkan  mempu memiliki empat “ wa” satu “ba”, yaitu wicara (basa), wirasa, wirama, wiraga  dan busana.
a.       Wirasa
Wirasa ini dapat disamakan dengan keta ‘penghayatan’. Seorang pranatacara harus bias memahami apa yang diucapkan dan tidak mengandalkan pada hafalan. Dengan demikian maka rangkaian kata yang diucapkan dapat lancar serta terkesan alami. Wirasa ini juga sangat membantu manakala pranatacara akan menyebut sesuatu dengan rangkaian kata yang ‘maneka warna’ tetapi tidak terkesan ‘dakik-dakik’.
b.      Wicara (basa)
Bahasa menunjukkan bangsa. Sebagai orang Jawa, kita harus bisa menunjukkan citra kita melalui bahasa yang kita gunakan. Kita sangat dituntut untuk mampu memilih bahasa yang sesuai dengan orang yang dihadapi serta situasi dan kondisi baik waktu maupun orang yang dihadapi. Sebagai pranatacara, sebaiknya dalam memilih bahasa sedapat mungkin menggunakan bahasa Jawa sederhana namun tetap memiliki nilai etika dan estetika. Suara yang kita keluarkan-pun (vocal) juga dituntut agar langsung dapat dicerna oleh yang mendengarkan. Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1)      suara tidak dibuat-buat dan usahakan agar suara asli kita tidak berubah;
2)      pengolahan vocal harus jelas, dapat membedakan antara vocal A dan O, konsonan Dh dengan D, dan sebagainya.
3)      Berusaha bersuara secara maksimal, tetapi jangan sampai merusak nada suara yang dikeluarkan (intonasi).
c.       Wirama
Wirama berarti irama. Seorang pranatacara dituntut mampu mengontorl dan mengatur irama suaranya. Ia dituntut mampu memahami maksud kalimat yang diucapkan, memahami keras lemahnya suara, cepat lambatnya ucapan dan sebagainya, sehingga ia bisa mengatur intonasi kata demi kata sesuai dengan maksud kalimat yang disampaikan.
d.      Wiraga
Wiraga artinya olah atau gerak tubuh, hal ini terkait pula dengan wirama dan mimik. Wiraga seorang pranatacara harus luwes, sesuai dengan situasi dan kondisi namun tidak mengurangi power sang pranatacara.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan wiraga ini, yaitu :
1)      bersikap tegap, tidak dibuat-baut dan menebar pandangan ke seluruh ruangan dengan maksud untuk menguasai ruangan.
2)      tangan ngapurancang dan tidak kaku
3)      menjaga sopan santun
4)      menjaga dan mengendalikan raut wajah disesuaikan dengan situasi acara. Misalnya, pranatacara pada upacara lelayu, gerak tubuh dan mimik harus tetap dijaga agar tidak merusak situasi dan suasana dukacita.
5)      tertawa atau tersenyum yang dibuat-buat dengan maksud menutupi kekurangannya sehingga berakibat tidak pas dengan maksud yang diucapkan.
e.       Busana
Ajining raga gumantung busana. Itulah ‘unen-unen’ Jawa yang harus senantiasa kita pegang. Busana yang dikenakan pranatacara harus disesuaikan dengan acara yang dilaksanakan. Pada prinsipnya memang busana yang dikenakan oleh pranatacara adalah bebas rapi. Namun disisi lain ada yang harus diperhatikan. Misalnya jangan sampai pranatacara (dalam acara apapun) hanya mengenakan kaos oblong, sandal jepit dan lain-lain yang kurang sedap dipandang mata. Sebaiknya busana disesuaikan dengan makna acara dan jangan sampai salah kostum.
6.      Menghindari hal-hal yang menjenuhkan tamu dan menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan ruang lingkup acara.
Ada beberapa hal yang harus dihindari pranatacara agar tidak menjenuhkan tamu yang dihadapi, antara lain :
1)      Ketika berdiri
Dalam berdiri, seorang pranatacara tidak boleh :
a)      berdiri dengan bertumpu pada satu kaki
b)      berdiri dengan kaki terlalu rapat atau terlalu lebar
c)      berdiri dengan menyandarkan badan pada benda yang ada didekatnya
d)     tampak tidak bersemangat
e)      meletakkan tangan dibelakang badan
f)       lebih banyak menunduk dan tidak memperhatikan ruangan tempat para tamu atau bahkan terlalu banyak memperhatikan luar ruang.
g)      terlalu banyak menggerakkan tubuh yang tidak sesuai atau sebaliknya berdiri dengan kaku.
h)      terlalu sering melihat catatan
2)      Merubah raut wajah secara tiba-tiba.
Raut wajah atau mimik sebaiknya memang tidak monoton. Pranatacara dituntut dapat menunjukkan kemampuan wirasa-nya, tetapi tidak dilakukan secara tiba-tiba.
Nah, itulah sekelumit pemahaman tentang pranatacara. Sekarang bila Anda ingin praktek langsung, silahkan Anda pilih contoh naskah yang Anda inginkan di bawah ini :
1. Contoh Naskah Pranatacara Bahasa Jawa untuk acara Rapat Pemuda
2. Contoh Naskah Pranatacara Upacara Panggih Manten untuk pemula
3. Contoh Naskah Pranatacara Bahasa Jawa Acara Pengajian